”Merdeka! Halo, dengan siapa ini?” begitu tanya seseorang dari seberang telepon pada suatu hari. Pemilik suara tersebut adalah Christoforus Soebiantoro (75 th) atau yang populer dikenal dengan nama Kris Biantoro. Siapa pun yang meneleponnya, dia akan selalu sapa dengan pekik merdeka!
”Kita harus menjadi manusia merdeka dan mengingatkan orang lain untuk jadi manusia merdeka juga,” ungkap Mas Kris, demikian ia biasa disapa.
Namun sejak 13 Agustus 2013, pekik merdeka itu tidak akan pernah lagi keluar dari mulut Mas Kris. Pedendang lagu Mungkinkah itu mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 13.30 WIB, setelah memandangi burung perkutut di rumahnya yang artistik nan asri di Kompleks Bukit Permai, Jalan Bromo Blok K/8, Cibubur.
Dia adalah anak ke-8 dari 11 bersaudara buah cinta Warsid Sastrowiardjo dan Soekarsih yang lahir di era perjuangan kemerdekaan Indonesia. Maka, tak heran dia memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan punya semangat terus berjuang pantang menyerah. Kerasnya zaman penjajahan, kekejaman perang, kesulitan ekonomi dalam melanjutkan pendidikan dan perjuangan bertahan hidup di negeri orang, hingga penghinaan, prasangka, dan perlakuan tidak adil, silih berganti ia alami. Namun itu tidak membuatnya gentar, lalu mundur dari jalur seni.
Ketika ditanya hal yang paling menggelisahkan hatinya saat ini, pria kelahiran 17 Maret 1938 itu menyebut perilaku korupsi yang telah merasuki bangsa ini. Perilaku itu telah memiskinkan bangsa yang kaya raya ini. Karena itu, saat merayakan ulang tahun ke-70 pada 2007, ia menyelenggarakan kirab sepeda onthel dari Tugu Monas menuju Gedung Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat. Saat itu ia mengumumkan perlawanan terhadap korupsi. Dengan menumpang mobil kuno bak terbuka, dia “dikawal” 200 pengendara sepeda onthel. Dalam balutan seragam tentara Peta warna hijau lengkap dengan atributnya, Kris tampak segar dan ceria.
90 Km Tiap Hari
Karena pertimbangan kesehatan, saat itu Kris tidak mengendarai sepeda. Namun yang pasti, bersepeda sama sekali bukan pengalaman baru atau aneh baginya. Justru mungkin pengalamannya dalam bersepeda merupakan sesuatu yang aneh bagi orang lain. Terbayangkah seseorang yang menempuh jarak sekitar 90 kilometer setiap hari dengan sepeda selama tiga tahun? Itulah pengalaman suami dari Maria Nguyem Kim Dung ini.
Kris adalah pria asal Magelang dan orangtuanya tinggal di sana. Tapi setelah tamat SMP dia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di SMA de Britto, Yogyakarta, yang jaraknya sekitar 45 kilometer dari rumahnya. Bisa saja ia ngekos di Yogyakarta, tapi hal ini mustahil baginya, sebab keadaan ekonomi keluarganya tidak memungkinkan. Maklum dia memiliki 11 saudara yang juga butuh biaya, ditambah lagi saat itu perekonomian negara tengah morat-marit. Jalan satu-satunya adalah pergi-pulang (ngelaju) Magelang-Yogya. Uniknya, perjalanan sepanjang 90 kilometer yang melelahkan itu ia tundukkan selama tiga tahun hanya dengan sebuah “sepeda perempuan”.
Tiap pagi Kris harus berangkat dari rumah tepat pukul 04.00 WIB agar bisa tiba di sekolah tepat waktu. “Telat sedikit saja berangkatnya saya pasti lambat masuk kelas sebab jalur kereta api di Jalan Malioboro tertutup selama 15 menit karena ada kereta yang lewat." kenang Kris. Itu artinya dia harus siap di-straf (dihukum, Red) di sekolah. Lalu kalau sering terlambat bisa jadi tidak naik kelas.
Suatu pagi ketika hendak melewati jalan di depan Seminari Mertoyudan, Kecamatan Mertoyudan, Magelang, dari kejauhan secara samar-samar Kris melihat “sosok” tinggi-besar. Sosok itu sontak membuatnya ketakutan, sebab dia mengira itu genderuwo. Dia berhenti dan berencana menunggu hari agak terang baru meneruskan perjalanan. Tapi itu berarti dia akan terlambat sampai di sekolah.
Dibayang-bayangi oleh keterlambatan, dia langsung ingat sosok bruder, guru bahasa Prancis di sekolahnya. Sang bruder terkenal galak dan disiplin. Ternyata ketakutannya pada sang guru bahasa Prancisnya mengalahkan ketakutan Kris pada genderuwo. Dia lalu mengumpulkan keberanian dan segera meluncur cepat-cepat dengan sepeda. Ternyata sosok yang dia kira genderuwo itu hanyalah “kepang”, yang dibuat dari gedek untuk menjemur tembakau.
Tanggung Jawab Artis
Saat ditanya hal yang ia pikirkan sehubungan dengan dunia hiburan kini, ia menjawab,"Saya ingin penyanyi saat ini juga mengerti sejarah musik Indonesia dan sekaligus memperkenalkan sejarah musik Indonesia pada generasi muda saat ini."
Kris mengaku sangat prihatin melihat para pencipta lagu, seperti Ismail Marzuki, Bing Slamet, dan Soetedjo, yang pernah menghasilkan lagu dan lirik yang sangat indah ternyata dilupakan. "Bangsa ini tercipta karena ada mata rantai sejarah yang tidak boleh putus. Segala sesuatunya pasti ada sejarahnya. Demikian pula saya tidak mau melupakan jasa besar dari para pencipta lagu yang mulai dilupakan itu. Saya bisa seperti sekarang karena mereka," ujar pemilik album Mungkinkah dan Juwita Malam ini.
Kris mengungkapkan, menjadi artis tidak hanya sekadar menyanyi atau mahir tampil di atas panggung. Artis juga harus memiliki tanggung jawab untuk memberi contoh positif pada masyarakat dan tidak terjebak dalam kehidupan hedonis seperti yang sering muncul di televisi.
"Celakanya banyak artis yang tidak peduli lagi pada sejarah, terutama sejarah musik Indonesia. Kalau menyanyi, ya menyanyi saja, tidak mengerti bagaimana lagu itu diciptakan, tidak menghayati, dan tidak tahu siapa yang menciptakan lagunya," kata Kris.
Apakah Kris lantas menyalahkan kaum muda? “Saya tidak menyalahkan kaum muda. Kalau saya muda pada zaman ini, saya akan begitu juga. Itu artinya ada yang salah urus terhadap bangsa dan generasinya,” ungkap Kris.
Di jagat hiburan Tanah Air Kris adalah salah satu kampiun. Dia selalu berusaha melakukan yang terbaik. Meski begitu, hasil kerja keras dan pengabdiannya yang maksimal banyak kali tidak dihargai secara setimpal. Ia pernah mengalami pemecatan di KBRI Australia karena isu murahan. Ia dicap komunis karena menikahi gadis Vietnam. Lalu di TVRI, tanpa alasan yang jelas, dia juga mengalami pemecatan.
Di TVRI juga ia mengalami perlakuan yang menyakitkan. Suatu kesempatan, seorang pimpinan televisi milik pemerintah itu menarik dengan paksa kalung salib di lehernya sampai putus. Sang pimpinan itu tidak suka melihat pencipta dan pendendang lagu Dondong Opo Salak ini mengenakan salib. “Kalau diminta baik-baik untuk tidak mengenakan salib saat syuting, toh saya tidak apa-apa,” tulis Kris dalam buku autobiografinya Manisnya Ditolak di halaman 190.
Pada zamannya, Kris sungguh menjadi bintang yang dielu-elukan meski tidak jarang juga dilecehkan. Selain Kris adalah penyanyi, dia juga MC termahal, bintang iklan laris, dan pemain serta sutradara film. Sebut saja beberapa film yang ia bintangi: Laki-laki Pilihan, Jagoan Tengik, Si Manis Jembatan Ancol, Bulan di Atas Kuburan, dan Last Tango in Jakarta. Sedangkan di bidang rekaman ia telah melahirkan sangat banyak album. Berapa albumnya? “Ini memalukan, saya tidak hafal jumlah album saya,” ujarnya terkekeh.
Tugas Menyebarkan Keindahan
Sebagai seorang seniman, dalam berkesenian pria yang pernah meraih Lifetime Achievement Award dari Panasonic ini berprinsip para artis, termasuk dirinya, adalah kelompok manusia yang diutus Tuhan untuk menyebarkan keindahanNya. Karena prinsip ini, ia mengaku tidak pernah neko-neko alias hanya menempuh jalan lurus.
Menurut Kris, setiap murid Kristus diutus ke dunia untuk menyebarkan kebenaran, kebaikan dan keindahan. ”Konon saya diutus ke bagian menyebarkan keindahan. Saya bisa menari, membuat film, menyanyi, berbicara, menulis. Itu semua datangnya dari Tuhan. Jadi, kalau menjadi artis hanya untuk membuktikan diri ini mampu, bisa kawin-cerai, bisa terkenal, pasti bukan itu maunya Tuhan. Menjadi artis terkenal sebenarnya bisa menjadi bagian yang ampuh dalam menyebarkan kebaikan. Kita tak cukup hanya berdoa saja, harus ora et labora. Kalau hanya berdoa saja, tidak ada artinya, berbuatlah sesuatu!” kata penulis buku Belum Selesai: Kisah 38 Tahun Perjuangan Pendekar Ginjal Soak ini.
Buku itu berkisah tentang pengalaman Kris dalam menjalani hidup sebagai penderita gagal ginjal selama 38 tahun. Sampai penghujung hidupnya, secara rutin Mas Kris menjalani cuci darah setiap minggu.
Kris Biantoro telah kembali kepada penciptaNya. Jeep kesayangannya yang biasa ditumpangi saat ke gereja tak akan pernah lagi ia pakai. Perjalanannya ke rumah Sang Khalik tentu ia tempuh menggunakan “jeep” dalam bentuk lain, yakni amal ibadah yang ia lakukan di dunia dan berkat imannya kepada Tuhan. Lantunan suara Koes Hendratmo yang menyanyikan lagu You Raise Me Up pada Selasa (13/8) pukul 20.30 WIB di depan jenazah dan para pelayat dari berbagai kalangan mengiringi “perjalanan” ayah dua anak itu. Selamat jalan, Mas Kris. Requiescat in pace!
Anda sedang membaca artikel tentang
"Saya Diutus Menyebarkan Keindahan"
Dengan url
http://bloggersporting.blogspot.com/2013/08/diutus-menyebarkan-keindahan.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
"Saya Diutus Menyebarkan Keindahan"
namun jangan lupa untuk meletakkan link
"Saya Diutus Menyebarkan Keindahan"
sebagai sumbernya
0 comments:
Post a Comment