Jakarta - Sagio, pengrajin wayang kulit dari Yogyakarta, mulai mencintai wayang kulit sejak usianya 11 tahun. Kecintaannya dimulai dari sang ayah yang memperkenalkannya dengan kerajinan tersebut.
"Dulu hiburan masyarakat ya hanya wayang kulit dan ketoprak. Ditambah ayah saya juga pengrajin wayang kulit. Makanya, saya tertarik karena saya sudah mengenalnya sejak kecil," ceritanya kepada Beritasatu.com beberapa waktu lalu di Jakarta.
Namun, tidak seperti sang ayah yang hanya bisa memahat wayang kulit. Sagio terus mendalami hasratnya terhadap wayang kulit hingga ia bisa semua tahapan dalam proses pembuatan wayang kulit.
"Saya berusaha dan belajar terus sampai akhirnya saya bisa menggambar, memahat hingga mewarnai wayang kulit klasik," tuturnya.
Hingga saat ini, ia mengaku sangat senang bila ada orang yang datang kepadanya untuk mempelajari wayang kulit. Ia pun memulai bisnis yang didasari oleh minatnya tersebut sejak tahun 1970-an. Bisnisnya pun terus berkembang, hingga pada sekitar tahun 1995 ia berhasil membuka gerai di Plaza Senayan dan Plaza Indonesia, Jakarta.
Namun, krisis moneter pada 1998 membuat gerai wayang kulitnya itu terpaksa ia tutup. Penjualan yang menurun sulit untuk bisa menggaji pegawai.
"Hingga hari ini saya hanya berbisnis di rumah tidak membuka gerai lagi. Sumber Daya Manusia-nya (SDM) sudah sulit sekarang. Penjualan pun sudah tidak seperti dulu," kata Sagio.
Menurutnya, 75 persen konsumen wayang kulit adalah orang asing. Dan saat isu teroris merebak, penjualn pun semakin menurun. Sagio mengaku sulit untuk mengembalikan kondisi bisnis seperti dulu lagi.
"Wayang itu bukan kebutuhan pokok dan orang-orang desa sudah sering lihat. Jadi, mereka tidak antusias untuk membeli. Itulah kenapa orang-orang asing yang lebih lihat keindahannya," katanya.
Sagio membuat dan menjual wayang kulit kualitas terbaik yang ia sebut sebagai kualitas 1 dengan harga Rp 2.000.000. Kemudian, untuk wayang kulit kelas 2 dibanderolnya dengan harga Rp 500.000-1.000.000. Dalam satu bulan Sagio mengaku bisa menjual wayang kualitas 1 dan 2 hingga 30 buah. Namun, untuk suvenir yang ukurannya lebih kecil dan lebih murah, bisa terjual hingga 50 lebih.
Di tengah perjuangannya dalam mempertahankan bisnisnya ini, Sagio hanya berharap wayang kulit bisa lebih dihargai semua pihak. Tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga pemerintah.
"Kementerian perdagangan meminta saya untuk tidak perlu membuat yang bagus-bagus, yang penting laku dijual. Sedangkan, kementerian kebudayaan sebaliknya. Namun, saya tetap mengikuti keduanya untuk bertahan hidup dan tetap mengikuti hasrat saya," terangnya.
Dengan begitu, Sagio membuat kerajinan wayang kulit dan suvenir dari bahan kulit kerbau mulai dari kualitas yang rendah hingga yang terbaik. Walaupun dengan segala naik turun bisnisnya, Sagio tetap tiskalau masyarakat akan kembali ke budaya leluhur mereka cepat atau lambat.
"Dulu zaman saya, perkembangan teknologi tidak sepesat sekarang. Sedangkan, di luar negeri hal-hal yang berbau tekonogi sudah biasa. Dan akhirnya mereka kembali ke alam dan budaya lagi. Kemungkinannya begitu," kata Sagio.
Dengan begitu, Sagio yakin kalau semua ini hanya masalah waktu. Pada akhirnya akan tiba saatnya masyarakat Indonesia kembali ke alam dan kebudayaan leluhurnya.