Kisah keluarga keraton yang jauh dari kemewahan.
Bagaimana rasanya menjadi seorang anggota Keraton? Bagaimana pula kehidupan mereka dalam keseharian?
Pertanyaan tersebut mungkin banyak diucap masyarakat yang penasaran dengan kehidupan di dalam keraton (kerajaan). Banyak juga yang penasaran, bagaimana perlakuan para pelayan di tempat yang disebut-sebut sebagai 'sangkar emas' tersebut.
Menjawab rasa penasaran tersebut, Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koes Indriyah meluncurkan sebuah buku biografi yang berjudul Jahipuba, Jalan Hidup Putri Bangsawan.
Buku tersebut tidak hanya sekedar menceritakan siapa gerangan Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koes Indriyah dan sepak terjangnya sebagai anggota DPD RI, tapi juga banyak menguak kisah kehidupan seorang Putri Keraton.
Lewat bukunya, Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koes Indriyah yang biasa disapa dengan Gusti Indri, mengisahkan realita kehidupannya sebagai putri Keraton Surakarta, yang jauh dari kata berlebihan.
“Saya pernah nyaris bolos sekolah karena sepatu saya yang hanya satu-satunya basah. Tapi, keinginan untuk bolos saya urungkan. Semangat saya terlalu besar untuk dikalahkan hal seperti itu, dan kemudian saya memilih untuk ke sekolah hanya dengan mengenakan sandal jepit,” kisah Gusti Indri.
Kisah sepatu basah hanyalah satu dari sejumlah kisah yang dialaminya sebagai Putri Keraton. Kisah lain yang juga patut menjadi inspirasi adalah saat Gusti Indri mengisahkan tentang Ibundanya, KRAy Pradapaningrum yang tak malu berjualan kroket (makanan khas jawa) untuk menambah penghasilannya.
Lewat seorang abdidalem kroket buatan Ibundanya dititipkan di warung pada sore hari.
“Kalian tak perlu malu jika harus menjajakan penganan ini. Justru kalian harus malu ketika hanya berpangku tangan sementara kita masih punya tenaga untuk berusaha,” kata Gusti Indri menirukan ucapan Ibundanya.
Sosok Ibunda memang menjadi panutan benar bagi Gusti Indri. Perempuan yang lahir pada 19 Oktober 1961 ini mengingat betul nasehat Ibundanya, agar menjadikan kekurangan dan keterbatasan sebagai kekuatan hidup.
Lantas, bagaimana Gusti Indri mengenang sosok ayahnya, Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoe Boewono XII?
Kesibukan ayahnya sebagai seorang Raja sekaligus pejabat militer, tak mengurangi kedekatan dengan anak-anaknya. Dalam buku ini, Gusti Indri juga mengisahkan ayahnya yang mengemudikan bus hingga ratusan kilometer demi bisa membawa anak-anaknya piknik ke Pantai Parangtritis.
Sebagai Putri Keraton, sejak kecil Gusti Indri diajarkan tentang kewajibannya menjaga tradisi Keraton Surakarta. Salah satunya adalah dengan menekuni kesenian jawa. Gusti Indri pun mengenang kebiasaan sebelum tidur yang biasa dilakukan oleh Ibundanya. Yakni, memandu anak-anaknya untuk melantunkan beberapa tembang macapat.
Kebiasaan ini pun memancing imajinasinya hingga suatu saat Gusti Indri bersama kakak-kakaknya menampilkan lakon Gatutkaca-Pregiwa, dengan hanya berhiaskan daun mangga serta angus, bekas alat masak yang terbakar. Peristiwa di masa kecil ini selalu membuat Gusti Indri tersenyum lebar saat mengingatnya.
Dunia seni memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Gusti Indri. Seni tari kemudian berhasil membuatnya jatuh cinta, hingga mengharumkan nama Indonesia lewat misi kesenian ke sejumlah Negara, diantaranya Belanda, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Paris, hingga Austria.
Namun, titik tertinggi prestasinya sebagai seorang penari justru dirasakannya saat memperoleh restu dari Ayahandanya untuk menjadi penari Bedaya Ketawang, sebuah tarian yang begitu sakral dan hanya ditampilkan satu tahun sekali dalam acara khusus. Maklum saja, untuk menjadi penari Bedaya Ketawang tidaklah mudah. Ada banyak persyaratan yang tentu saja tidak ringan untuk dilewati.
Hidup dalam keterbatasan yang pernah dirasakanya saat di dalam Keraton, kemudian membuat Gusti Indri menjadi lebih kuat saat mengarungi kehidupan di Jakarta. Usai memutuskan keluar dari Keraton, Gusti Indri kemudian hijrah ke Jakarta dan bekerja di sebuah Bank.
“Setiap hari lari-lari mengejar metromini, yang entah kenapa jalannya selalu ngebut,” kenang Gusti Indri.
Perjalanan hidup kemudian mengantarkan Gusti Indri ke babak lain dalam kehidupannya, menjadi anggota DPD RI dari Provinsi Jawa Tengah. Rasa gamang yang dirasakannya pupus sudah saat melihat besarnya dukungan dari Masyarakat di sejumlah desa yang didatanginya.
Kepada sosoknya, masyarakat pun menaruh harapan , yang salah satu tujuannya adalah menjaga kelangsungan Keraton. Ia kemudian terpilih sebagai anggota DPD RI.
“Saya berharap buku Jahipuba ini bisa jadi inspirasi dan gambaran sebenarnya dari kehidupan Keraton, yang walaupun jauh dari kata berlebihan, namun punya kekuatan untuk terus maju,” tutupnya.