BANDUNG, Kompas.com - Pemberitaan Kompas.com mengenai KRAPSI 34 Bandung mendapat tanggapan dari panitia pelaksana.
Panitia pelaksana menyebut ada beberapa perbedaan pandangan antara sumber dari Kompas.com dengan fakta dari pihak panitia pelaksana.
Perbedaan yang terjadi adalah soal pandangan mengenai penghitungan dengan menggunakan alat penghitung manual yang digunakan peserta mau pun pelatih dengan alat penghitung elektronik yang digunakan panitia pelaksana.
Menurut technical delegate KRAPSI yang juga wakil ketua bidang pembinaan PRSI, Suroyo, pihak panitia sudah berusaha maksimal dengan menggunakan alat pencatat waktu elektronik yang mereka sewa dari Surabaya.
"Sebenarnya kami sudah mengusahakan untuk meminjam dari Riau, yang bekas digunakan PB PON lalu, namun alat tersebut akan digunakan untuk Islamic Solidarity Games, Juni mendatang," kata Suroyo.
Akhirnya panitia menggunakan pencatat waktu elektonik namun tidak menggunakan scoring board yang dapat langsung memperlihatkan hasil penghitungan alat tersebut. "Kalau menggunakan alat tersebut secara lengkap kami harus menyewa dari perusahaan swasta dan biayanya sangat mahal," lanjut Suroyo.
Tiadanya papan penunjuk hasil (scoring board) ini lah yang kemudian menimbulkan kontroversi soal hasil perlombaan yang berlangsung. "Kalau ada papan hasil kan langsung kelihatan hasil lomba saat itu juga. Jadi memperkecil keraguan," kata sumber Kompas.com.
Sebagai perbandingan alat serupa selalu digunakan untuk event seperti kejurnas dan PON atau Popnas Riau lalu. Di Jakarta, untuk event-event kompetisi sekolah asing seperti Jakarta International School atau pun British International School, penggunaan penghitung elektronik dan papan hasil elektronik sudah merupakan keharusan.
Perbedaan hasil antara penghitungan secara manual dan elektronik inilah yang menimbulkan masalah di KRAPSI 2012 ini. Sumber Kompas.com mengatakan hasil yang muncul di alat pencatat waktu manual lebih cepat daripada hasil dengan pencatat waktu elektronis.
Menurut Suroyo perbedaan tersebut bisa terjadi karena pencatatan waktu yang dilakukan oleh orang tua atau pun pelatih bisa tidak akurat karena alat yang digunakan, jarak atau posisi saat menghitung atau skill.
Menurut Suroyo pula, semua masalah sebenarnya sudah dipaparkan saat technical meeting antar para manajer perkumpulan renang peserta pada Rabu (26/12) lalu. "Kami sudah menjelaskan semua hal di sana, termasuk juga soal suhu kolam yang disebutkan tidak memenuhi standar FINA," ungkapnya.
Sumber Kompas.com memang mengatakan suhu kolam renang di Bumi Siliwangi, UPI, Bandung ini pada sore hari mencapai 19-20 derajat. Sementara suhu standar FINA untuk kolam kompetitif adalah 25-28 derajat celcius.
"Suhu kolam berdasar termometer adalah pagi cerah pukul 7.30 adalah 25 derajat celcius. Sementara siang hari pukul 11.15 mencapai 25.5 derajat celcius," kata Suroyo lagi yang telah berkecimpung di kolam renang nasional lebih dari 25 tahun.
Keluhan mengenai suhu kolam yang lebih dingin memang disampaikan untuk sesi II, pukul 15-18.00. Ini diakui oleh Suroyo. "Suhu memang akan menjadi lebih dingin saat turun hujan," ungkap Suroyo.
Pada dua hari pertama KRAPSI ke 34 (27-28 Desember) hujan memang turun lebat di kolam renang Bumi Siliwangi, UPI, Banfung antara pukul 15-17. Sementara pada hari ketiga (29 Desember) hujan hanya turun sebentar sekitar pukul 16.0 hingga 17.00.
Suroyo memang mengakui tingkat ketertarikan media untuk event renang nasional -bahkan internasional- di tanah air memang merosot. Padahal dukungan media merupakan salah satu faktor penting untuk proses pembinaan atlet renang.
"Seperti KRAPSI ini merupakan jang evaluasi pembinaan bagi seluruh perkumpulan renang di Indonesia yang merupakan ujung tombak pembinaan," katanya. "Karena itu memang perlu kerjasama yang baik antara manajemen perkumpulan, pelatih, penjurian serta media," lanjutnya.
KRAPSI 34 dengan penyelenggara ESG Bandung berakhir Minggu (30/12) dengan tuan rumah kemungkinan besar menjadi juara umum.
"Seperti KRAPSI ini merupakan jang evaluasi pembinaan bagi seluruh perkumpulan renang di Indonesia yang merupakan ujung tombak pembinaan
Editor :
A. Tjahjo Sasongko